IKHLASKU ADALAH JALANKU

Angka 21, untuk nominal angka itu masih terlihat terlalu kecil. Namun untuk sebuah usia, 21 itu sudah terlihat matang mestinya. Di angka itu lah aku sekarang berdiri. Kini usia ku menginjak 21 tahun. Banyak pelajaran dan pengamalan yang aku dapat di usia 21 ini. Tidak luput juga dengan masalah-masalah yang pernah besarang di usia 21 ini. Dan di usia 21 tahun ini aku pun masih merindukan sosok Ayah yang telah pergi saat usiaku 7 tahun.

Saat itu usiaku 7 tahun dan aku baru menginjak Sekolah Dasar kelas 2. Di usia itu aku masih belum mengerti apa itu arti kata dari “meninggal” dan “Menikah”. Masih terlalu kecil untuk memahami arti kata itu.

Pada saat itu aku hanya tahu Ayah ku sedang tertidur pulas dirumahku. Tetapi banyak sekali orang-orang yang mengaji dan menangis ketika melihat Ayahku yang sedang tertidur pulas itu.

“Ayah nya lagi Bobo yah” seseorang berbicara disamping telingaku.

Tidak lama bibi ku datang melihat ayahku yang sedang tertidur itu. Semakin aneh saja, ketika bibi melihat ayah, dia langsung mengeraskan tangisan dan teriakannya.

“Hendraaa,,,,, cepat sekali kau pergi.. kasian anak-anak mu yang masih terlihat kecil dan anakmu yang masih berada di dalam kandungan istrimu...”

Seperti itulah teriakan bibiku pada saat itu. Aku masih mengingatnya. Pada saat itu ibu sedang mengandung adik ku 9 bulan.

Aku semakin tidak mengerti, di usia ku yang pada saat itu menginjak 7 tahun aku masih belum bisa menafsirkan apa yang telah terjadi. Pada saat usiaku 7 tahun aku hanya bisa menangis karena lapar, atau menangis karena ingin jajan.

Sudah dua bulan lamanya aku tidak pernah melihat sosok ayahku lagi. Aku hanya berfikir ayahku sedang bekerja dijakarta. Dan setiap aku bertanya kepada ibu “di mana ayah”, ibu hanya menjawab “Ayah sedang bekerja nak”.

Setelah sekitar dua bulan lamanya, di rumah kembali ramai berdatangan orang-orang, namun orang-orang yang datang sekarang menunjukan ekspresi wajah yang berbeda pada saat dua bulan sebelumnya. Kali ini Orang-orang terlihat tersenyum dan tidak lagi menangis seperti pada saat ayahku tertidur. Orang-orang itu mengelilingi ibu ku di ruang tamu.

“Ibu kenapa, ko di kelilingi banyak orang?” Tanya ku kepada salah satu sahabat ibu ku.

“Ibu sedang Ulang tahun nak” Jawab sahabat ibu ku itu.

Sahabat ibu ku bilang bahwa ibu sedang berulang tahun. Tetapi aku tidak melihat lilin yang menyala di atas kue tart, aku tidak mendengar lagu selamat ulang tahun yang biasa dinyanyikan, aku hanya melihat seorang Pria tinggi tepat berada di samping ibu ku. Aku semakin tidak mengerti dengan semuanya. Sekali lagi aku sampaikan, di usia ku yang baru menginjak 7 tahun ini aku tidak bisa menafsirkan semuanya menjadi sebuah kesimpulan, pada saat itu aku hanya bisa menangis dan tertawa saja.

Aku selalu bertanya kepada diriku sendiri. “Kenapa sekarang pria tinggi itu yang selalu berada dirumahku, dimana ayahku yang selalu memberikanku senyuman.”

Aku merindukan ayahku. Walaupun ayah selalu memarahiku dan membuatku menangis tetapi aku merindukannya. Berbeda dengan pria tinggi itu, dia selalu berusaha membuatku tersenyum, namun aku tidak bisa merasakan apa yang dia berikan kepada ku. Aku tidak merasakan hatinya, aku hanya bisa melihat sosok pria tinggi itu yang sekarang selalu berada didekat ibuku.

Setelah aku sudah menginjak bangku kelas 3 di Sekolah Dasar, Ibu membawaku pergi dari tempat dimana aku tinggal bersama nenek dan bibi ku. Aku diajak ketempat asal pria tinggi itu tinggal, kota sukabumi namanya.

Dari situ lah Pria tinggi itu mulai berani memanggil namaku. Dan dari situ pula dia meminta kepada ku untuk memanggilnya “bapak”. Aku hanya bisa menurutinya. Di usia ku yang pada saat itu, aku tidak bisa mengelak, dan aku mulai memanggil pria itu “bapak”.

Di sukabumi aku bersekolah bersama keponakan-keponakan bapak itu. Satu tahun aku menginjak sekolah di sukabumi, aku sudah merasa tidak betah. Telah aku niat kan ketika naik kelas nanti aku ingin kembali bersekolah ditempat asal nenek dan bibi ku tinggal, yaitu di Bogor.

Kini sudah satu tahun lamanaya aku tinggal bersama bapak itu, namun aku mulai merasakan tidak nyaman tinggal bersamanya. Aku masih belum bisa merasakan hatinya. Aku meminta kepada ibu untuk membawa ku kembali ke tempat nenek dan bibiku tinggal, aku ingin tinggal bersama nenek dan bibiku. 
 Aku lebih merasa nyaman tinggal bersama mereka. Ibu pun membawa ku kembali ke tempat nenek dan bibiku. Aku kembali tinggal bersama nenek dan bibku.

Aku mulai kembali bersekolah di tempat asal ku bersekolah yaitu di SDN 1 Jasinga, Bogor. Kali ini aku sudah menginjak kelas 4 SD. Aku mulai banyak mengetahui hal yang selama ini tidak aku ketahui. Aku sudah mengerti apa itu artinya “Meninggal” dan “menikah”. Kata yang selama dua tahun tidak aku ketahui. Kata yang selama dua tahun aku cari tahu apa itu artinya. Kini aku mulai mengetahuinya.

Setelah aku mulai mengetahui semuanya, aku mulai menanyakan tentang ayahku kepada nenek. Dari situlah nenek ku mulai bercerita tentang apa yang telah ku pertanyakan selama ini.

“Rian, ayah rian sudah meninggal. Ayah sudah berada disurga sama Allah. Do’ain ayah terus yah supaya kuburan ayah terang”. (Nenek menceritakannya kepada ku..)

Aku semakin penasaran, aku terus bertanya kepada nenek ku.

“Kenapa Ayah meninggal nek?” (Tanya ku kepada nenek)

“Allah sayang banget sama ayah rian, mangkanya ayah meninggal.” (Jawab nenek ku.)

“Dulu waktu ayah rian masih hidup nenek sayang sekali sama ayah rian. Dia baik orangnya, rajin suka membuatkan nenek lemari, tempat tidur, atau yang lainnya. Tapi sekarang ayah rian sudah meninggal. Setelah Ayah meninggal, ibu menikah lagi dengan orang sukabumi, dia lah sekarang ayah rian yang baru”. (Lanjutan cerita dari nenek ku.)

Akhirnya, Pertanyaan ku selama ini terjawab sudah. Dari situ aku dapat menafsirkan hal-hal yang selama ini aku pertanyakan. Aku mulai dapat menyimpulkan semuanya setelah dua tahun berlalu.

Ternyata pada saat ayah tertidur pulas beliau telah pergi selamanya. Pada saat itu aku hanya tahu ayahku sedang tertidur. Aku tidak dapat melihat wajah ayah pada saat menghembuskan nafas terakhirnya, aku tidak berada di sisi ayah ketika beliau ingin melihat malaikat kecilnya untuk yang terakhir kalinya, dan aku tidak dapat membantunya membaca kalimat-kalimat Allah Pada Sakarrotul Mautnya. Ingin Rasanya aku mengulang waktu agar aku dapat melihat senyum ayah di hembusan nafas terakhirnya. Namun apa daya, kini Ayahku telah tiada.

Dan Pada saat Ibu berulang tahun, ternyata ibu tidak sedang ulang. Pada saat itu ibu sedang melakukan pernikahan yang ke duanya bersama pria tinggi yang sangat ingin aku panggil “bapak” itu.

Perih rasanya ketika aku mengetahui semua itu pada usia ku yang tidak kecil lagi. Aku merasa ibu membohongiku. Aku mengetahui semuanya ketika ayah sudah pergi selamanya, ketika ibu sudah bersuami lagi tanpa ku ketahui kapan ia menikah.

Kini ibu tinggal bersama pria itu, dan aku lebih memilih tinggal bersama nenek ku. Aku tidak ingin kasih sayang ibu kepada pria itu terbagi hanya karena aku tinggal bersama mereka. Akan ku ikhlaskan semuanya. Aku tetap menyayangi ibu walaupun ibu tinggal bersama pria itu. Kasih sayang ku tidak akan berubah terhadap ibu.

Satu hal dariku, Walaupun sampai saat ini di usiaku yang ke 21 masih belum bisa merasakan hati “bapak” sebagai ayah baru ku, aku tidak apa-apa. Aku hanya ingin bapak dapat memberikan kebahagian kepada ibu seperti ayah membahagiakan ibu. Karena itulah aku menyayangi Ayahku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

REFLEKSI DIRI TENTANG PEMIKIRAN KI HADJAR DEWANTARA

INSPIRASI 22.45

DIAGRAM TRAPESIUM USIA